Upaya pencapaian target nasional untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1% pada 2018 menjadi 8,7% pada 2024 semakin penuh tantangan. Berbagai bukti menunjukkan bahwa rokok masih mudah diakses oleh anak-anak sekolah maupun anak-anak rentan yang telah putus sekolah. Warung penjual rokok eceran masih dengan mudah ditemui di sekitar lokasi sekolah.
Harga rokok batangan pun sangat murah, yaitu Rp1.500 per batang, bahkan pembeliannya terkadang diperbolehkan secara berhutang. Selain itu, munculnya produk-produk rokok elektronik turut memancing perhatian generasi muda untuk menjadi pengguna ganda (dual user) produk tersebut sekaligus mengonsumsi rokok konvensional.
Data Global Adult Tobacco Survey juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi perokok elektronik dari 0,3% (2011) menjadi 3% (2021). Tantangan yang dihadapi tidak hanya itu, anak dengan pengalaman merokok yang memutuskan untuk berhenti berperilaku merokok masih berpeluang untuk kambuh kembali menjadi perokok aktif. Kondisi ini dikenal dengan istilah smoking relapse.
Zat nikotin merupakan zat adiktif atau bersifat candu dalam kandungan rokok yang turut menyebabkan anak mengalami kekambuhan kembali dalam berperilaku merokok atau smoking relapse. Selain itu, terdapat berbagai faktor pendorong yang diduga menjadi penyebab smoking relapse pada anak.
Selain harga rokok yang masih murah dan dapat dibeli secara batangan, faktor teman sebaya perokok berdasarkan studi Dartanto et al dapat memengaruhi teman lainnya untuk menjadi perokok aktif. Di sisi lain, paparan iklan, promosi, maupun sponsor rokok masih dapat ditemui di berbagai media sehingga semakin menarik minat konsumen bahkan anak untuk membeli produk rokok.
Studi yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tahun 2023 menggunakan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) dari tahun 2009 hingga 2019 membuktikan penyebab smoking relapse pada anak. Pengaruh teman sebaya perokok dan pengaruh paparan iklan dari berbagai media memang berperan signifikan untuk meningkatkan peluang anak yang telah memutuskan untuk berhenti merokok menjadi berperilaku merokok kembali.
Namun, studi tersebut memiliki temuan penting lain sebagai aspek pencegahan yang berpotensi berguna untuk mengendalikan smoking relapse pada anak di masa depan, yaitu kenaikan harga rokok baik per batang maupun per bungkus berpeluang menurunkan kecenderungan anak untuk alami kekambuhan kembali dalam berperilaku merokok.
Walaupun memiliki persamaan dalam hal aspek pencegahan smoking relapse pada anak, terdapat poin perbedaan hasil antara kenaikan harga rokok per bungkus maupun per batang. Kenaikan harga rokok per bungkus memiliki kecenderungan menurunkan perilaku smoking relapse pada anak lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga rokok per batang.
Temuan ini sejalan dengan arahan Bapak Presiden Joko Widodo untuk melarang penjualan rokok secara batangan. Selain semakin mengurangi keterjangkauan rokok dan sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, arahan ini juga ternyata mampu mencegah smoking relapse pada anak.
Ini merupakan sinyal penting urgensi dilaksanakannya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Zat Adiktif Tembakau bagi Kesehatan untuk memuat pasal terkait pelarangan penjualan rokok secara batangan.
Studi PKJS-UI yang dipublikasikan pada tahun 2023 tersebut juga menginformasikan temuan angka perokok anak maupun anak dengan pengalaman merokok. Studi tersebut menemukan bahwa prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun dari 12% pada 2006 meningkat menjadi 19% pada 2019.
Selain itu, masih terdapat tren kenaikan anak dengan pengalaman pernah merokok sebesar 30% pada 2009 dan meningkat menjadi 38% pada 2019. Di antara anak dengan pengalaman merokok tersebut, anak yang telah berhenti kemudian berperilaku merokok kembali karena berbagai faktor yang telah disebutkan masih memiliki proporsi 50% ke atas pada rentang 2009-2019. Tren kenaikan angka perokok anak dan tingginya proporsi smoking relapse pada anak ini menuntut upaya pengendalian segera dari sisi kuratif maupun preventif.
Dalam hal upaya kuratif, pemerintah tengah mendorong peningkatan jumlah klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM) secara nasional. Dalam hal ini, upaya yang dapat dilakukan di masa depan yaitu bagaimana peran tenaga kesehatan dapat meningkatkan kunjungan anak yang berperilaku merokok ke klinik UBM serta peran UBM itu sendiri untuk meyakinkan anak dengan pengalaman merokok agar tidak terjadi insiden smoking relapse. Peran sekolah, dalam hal ini para guru, juga diperlukan untuk memberikan sanksi kepada siswa yang kedapatan merokok serta mengendalikan smoking relapse pada siswa.
Selain upaya kuratif, studi faktor pendorong smoking relapse pada anak menggunakan data GYTS 2006-2019 juga memberikan saran upaya preventif untuk mencegah smoking relapse pada anak. Pertama, kenaikan harga rokok merupakan kunci penting menekan keterjangkauan rokok pada anak.
Pemerintah telah menaikkan cukai rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024, namun kenaikan yang lebih tinggi lagi pada tahun berikutnya sangat diperlukan agar harga rokok semakin tidak terjangkau oleh anak. Kedua, pemerintah harus mengimplementasikan larangan penjualan rokok secara batangan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 untuk mencegah terjadinya potensi anak mengalami smoking relapse dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak pada 2024 nanti.
Ketiga, penggunaan rokok elektronik harus diatur lebih ketat dari sisi kebijakan harga maupun non-harga. Ini penting untuk mencegah terjadinya dual user atau anak menjadi pengguna ganda rokok elektronik maupun rokok konvensional. Selain itu, pemerintah harus melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media guna mendukung anak untuk konsisten berhenti berperilaku merokok.
Seluruh pihak harus bersinergi memberikan perhatian untuk melindungi dan mencegah insiden smoking relapse pada anak, baik pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar, sehingga Indonesia akan memiliki generasi penerus yang sehat, unggul, dan berkualitas di masa depan.
Risky Kusuma Hartono, Muhammad Abdul Rohman
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia