Sejak Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan tahun 2019, institusi penegak hukum ini tak ubahnya macan ompong. Aksi OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang begitu gencar di periode sebelumnya mendadak loyo. Kalau pun ada OTT, nilainya tak seberapa. Ini memang sesuai keinginan pemerintah yang menuntut KPK lebih mengedepankan pencegahan ketimbang penindakan.
‘’Kampungan,’’ ujar Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengomentari gencarnya OTT oleh KPK, suatu ketika.
Di tengah melemahnya kinerja lembaga antikorupsi, kini muncul wacana revisi UU KPK. Adalah Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto yang mengutarakan peluang revisi UU KPK itu. Pernyataan itu dia sampaikan di rapat antara Komisi III DPR RI dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Rabu (5/6/2024).
"Kita bisa lakukan revisi karena UU ini sudah berusia lima tahun. Jadi bisa kita tata ulang karena banyak yang komplain," ujarnya.
UU KPK memang sering dikritik sejak disahkan pada 2019. Revisi UU KPK itu dinilai menghilangkan independensi lembaga. Jika RUU itu bertujuan memperkuat peran KPK tentu harus didukung sepenuhnya. Namun jika RUU itu dibuat dengan tujuan memperlemah institusi berusia 22 tahun itu tentu harus ditolak.
Kita masih ingat UU yang saat ini berlaku menimbulkan kegaduhan saat disahkan. Pasalnya sejumlah ketentuan baru bermuatan pelemahan KPK. Yang paling krusial adalah penempatan institusi ini di bawah lembaga eksekutif. Otomatis semua awaknya berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara).
Dengan status itu Pemerintah bisa mengontrol penuh KPK. Independensi KPK pun dipertanyakan.
‘’Rekayasa’’ pelemahan KPK memang sudah terasa sejak proses pemilihan Ketua KPK yang memenangkan Irjen Firli Bahuri. Perwira tinggi Polri ini ditengarai mengoleksi sejumlah perkara sebelum diangkat menjadi Ketua KPK.
Saat menjabat sebagai Deputi Penindakan ia pernah diberitakan menjemput saksi Wakil Ketua BPK Bahrullah yang hendak diperiksa penyidik KPK. Dia juga pernah dikabarkan bertemu dengan pimpinan parpol saat menjalanji uji kelayakan di DPR serta bertemu dengan mantan Gubernur NTB TGB , M. Zainul Majdi yang berstatutus tersangka dalam kepemilikan saham Newmont.
Aksi tak pantas Firli terus berlanjut saat memimpin KPK. Ia dijadikan tersangka oleh Mabes Polri setelah ditengarai memeras Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang diduga menguras uang di Kementerian Pertanian sebesar Rp44 miliar. Tak hanya itu dia juga pernah dituding menerima gratifikasi untuk menyewa helikopter saat pulang ke kampung halamannya, juga bertemu dengan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe di kediamannya di Jayapura.
Dari serangkaian tindakan tak terpuji yang dilakukan Firli, menguatkan kesan legislatif dan eksekutif berkolaborasi untuk melemahkan KPK. Tak hanya pelemahan dari segi perundang-undangannya, melainkan juga upaya mendegradasi citra positif KPK dengan mengangkat ketua yang tak berintegritas.
Sikap itu makin kentara tatkala eksekutif menyerahkan penanganan perkara berskala besar, seperti Jiwasraya, Asabri, Taspen, korupsi pembangunan BTS oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga manipulasi tambang timah di Bangka yang bernilai triliunan rupiah ke Kejaksaan Agung. Dari jumlah nilai uang yang ditilap para begundal yang mencapai ratusan triliun rupiah, jelas jauh melampaui nilai perkara yang ditangani KPK. Apalagi sejak dipimpin Firli KPK jarang melakukan OTT. Kalaupun ada nilainya hanya puluhan miliar rupiah.
Padahal untuk mengemban tugas mahaberat itu, kapasitas dan kredibilitas Kejaksaan Agung belum ideal. Pubilk belum lupa dengan ulah Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang membantu terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra menghindari eksekusi hukuman. Bukan tak mungkin kasus ini melibatkan juga petinggi Kejaksaan Agung.
Sebab di persidangan terungkap Pinangki yang menerima upah US$500.000 sempat melakukan chatting dengan ‘’kliennya’’ untuk menyampaikan bahwa dirinya juga berkordinasi dengan seseorang yang disebutnya sebagai “bapakku”. Sayang info ini tak dikejar oleh majelis hakim yang menangani perkara itu.
Sebelumnya mantan jaksa Kejari Yogyakarta Eka Safitra dan jaksa Kejari Surakarta Satriawan Sulaksono tersandung kasus suap Rp200 juta dari proyek saluran air di Yogyakarta. Ada pula perkara yang melibatkan Aspidsus Kejati Jawa Tengah Kusnin yang terungkap menerima suap sebesar 294 ribu dolar Singapura dari Alfin Suherman dalam penanganan kasus kepabeaan.
Selain itu tahun 2021 ada juga kasus yang melibatkan jaksa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yanuar Reza Muhammad dan Fristo Yang Presanto. Mereka diruduh memeras saksi perkara dugaan tipikor yang sedang ditangani Pidsus DKI Jakarta senilai Rp1 miliar.
Memang KPK hanyalah lembaga ad hoc. Artinya sewaktu-waktu lembaga ini bisa dibubarkan dan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan akan sepenuhnya kembali ke Kejaksaan Agung. Tapi tentu untuk saat ini waktunya belum tepat. Korupsi masih merajalela. Integritas aparat kejaksaan juga belum meyakinkan.
Nyatanya KPK sendiri saat ini mengalami pembusukan dari dalam. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kini bersitegang dengan Dewan Pengawas. Nurul menuding dewan pengawas telah mencemarkan nama baiknya dengan melanjutkan pemeriksaan etik atas dirinya. Gufron dituding melanggar etik karena berkomunikasi dengan salah satu pejabat Kementerian Pertanian untuk memindahkan pegawainya dari kantor pusat ke Malang, Jawa Timur. Ghufron mengungkapkan bahwa pegawai tersebut sudah meminta mutasi selama dua tahun karena ingin ikut dengan suaminya, tetapi tidak dikabulkan. Ia lantas menyampaikan keinginan pegawai tersebut ke pejabat di Kementan, tapi ia mengaku sekadar membantu tanpa titip-menitip.
Konflik internal ini lantas berlanjut ke PTUN dan Mahkamah Agung untuk menguji materi Peraturan Dewas KPK Nomor 4 Tahun 2021, bahkan sampai ke Bareskrim Polri. Adapun pembusukan dari luar tampak dari putusan putusan sela Pengadilan Tipikor yang membebaskan terdakwa Hakim Agung Gazalba Saleh yang dituduh menerima gratifikasi dan TPPU Rp62,8 miliar. Dalam putusan itu, Hakim Pengadilan Tipikor menyebut Jaksa KPK tidak berwenang menuntut karena tidak mengantongi delegasi kewenangan dari Jaksa Agung.
Putusan yang sungguh janggal. Sebab tak ada ketentuannya bagi jaksa KPK wajib mendapat lampu hijau terlebih dulu dari Kejaksaan Agung dalam melaksanakan wewenangnya.
Cikal bakal dari UU KPK Tahun 2002 tak lain adalah Tap MPR no XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Sayangnya, jerih payah mahasiswa dan para aktivis menggulirkan reformasi tak sinkron dengan kinerja para penegak hukum. Di masa itu kondisi hukum sungguh karut marut.
Hakim, jaksa, polisi, pengacara seolah berlomba menggaruk hasil jarahan uang rakyat oleh para koruptor. Tak sedikit pencoleng dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP 3) dengan alasan tidak ditemukan kerugian negara. Kalau pun sampai ke meja hijau, tuntutannya sengaja dibuat lemah agar hakim mudah membebaskan terdakwa. Belum lagi dengan kisah banyaknya tersangka BLBI yang lolos lari ke luar negeri.
Mengacu pada fakta itu, Presiden Megawati Soekarnoputri yang baru naik menggeser Abdurrahman Wahid menyetujui UU KPK. Institusi ini pun langsung tancap gas meringkus satu per satu pencoleng uang rakyat. Di masa itu aksi apparat KPK bak bebas hambatan. Bukan apa-apa, independensi mereka memang dijaga oleh UU dengan tidak dimasukkan ke ranah eksekutif.
Kesalahan masa lalu aparat penuntut umum pun dikoreksi dengan tidak memberi ruang SP 3 bagi tersangka korupsi. Penyidik KPK juga mendapat keistimewaan menyadap orang-orang yang dicurigai tanpa perlu mengajukan izin ke dewan pengawas maupun izin pengadilan. Tak kalah pentingnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hanya didirikan di Jakarta, dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan.
Seiring berjalannya waktu, KPK mulai dilemahkan. Awalnya Pengadilan Tipikor disebar ke berbagai daerah. Ujungnya, satu-per satu koruptor yang diadili di daerah mendapat tiket bebas. Klimaksnya adalah pengesahan UU KPK 2019 yang hasilnya telah kita ketahui bersama.
Kesimpulannya, jika eksekutif dan legislatif ingin merevisi UU KPK, tak perlu sulit-sulit: cukup kembalikan UU KPK seperti di awal berdirinya lembaga antikorupsi itu.