Trenasia

Pernikahan Ketua MK dan Pengaruhnya Bagi Mahkamah Konstitusi

Gugum Ridho Putra in Tren Inspirasi 06 Juni 2025 03:31 WIB 1 min read
Anwar-Usman-Ketua-MK

Saya pribadi termasuk yang berbahagia atas pernikahan Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dengan Idayati, adik kandung Presiden Joko Wdodo. Dengan sepenuh hati saya ucapkan selamat berbahagia dan selamat menempuh hidup baru. Semoga dalam pernikahan ini dikaruniai rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrahmah, selalu berbahagia di dunia maupun di akhirat.

Sekalipun sempat mendapat reaksi keras dari publik hingga desakan mundur. Pembelaan Bapak Anwar Usman yang mengatakan "Apakah saya harus berkorban melepaskan hak asasi saya?" sebagai respons atas desakan mundur dari jabatan MK, menurut saya ada benarnya juga. 

Menikah adalah hak dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis dan sekaligus juga ibadah. Kebebasan memeluk agama dan beribadah bagi setiap warga negara sudah dijamin konstitusi dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945, Tak terkecuali bagi Ketua MK sendiri.

Saya sependapat dengan mereka yang yakin dengan integritas Ketua MK saat ini. Bagi saya, terpengaruh atau tidaknya MK atas pernikahan ini bergantung kepada integritas Anwar Usman sendiri. 

Apakah MK akan kesulitan dan menjadi tidak independen ketika menangani perkara-perkara menyangkut kepentingan presiden? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang jelas, dalam perkara apapun yang ditangani, Putusan MK tidak diambil oleh ketua MK seorang, melainkan ditentukan bersama-sama 8 hakim anggota MK lainnya dengan total 9 orang. 

Kalaupun ketua berhalangan akan digantikan Wakil Ketua MK. Apabila keduanya berhalangan, maka sidang pleno pengambilan putusan tetap bisa dilakukan paling minimal oleh 7 orang hakim MK yang tersisa. 

Mahkamah Konstitusi ke Depan

Adakah dampak pernikahan ini bagi Mahkamah Konstitusi? mulanya saya berpikir tidak ada. Tapi setelah mengingat bahwa menikah bukan soal menyatukan dua orang saja, saya jadi yakin pernikahan ini sedikit banyak akan berdampak kepada Mahkamah Konstitusi. 

Akibat langsung pernikahan ini bukan sekedar menyambung hubungan hukum antara Anwar Usman dengan Idayati sebagai suami-istri dalam hubungan perkawinan. Tetapi juga menyambung hubungan antara Bapak Anwar Usman dengan Bapak Jokowidodo. 

Per hari ini, Ketua Mahkamah Konstitusi dan Presiden Republik Indonesia terjalin hubungan hukum semenda. Hal ini lah yang akan berpengaruh langsung kepada Mahkamah Konstitusi terutama atas perkara-perkara yang melibatkan keduanya.

Secara filosofis, hakim diwajibkan bersikap netral dan tidak memihak (imparsial) dalam menangani perkara demi kepastian hukum dan keadilan. Imbas dari ketentuan itu, undang-undang telah membebankan serangkaian kewajiban hukum kepada Hakim untuk menjaga marwah profesinya. 

Salah kewajiban itu diatur  Pasal 17 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009) yang mewajibkan Hakim mengundurkan diri dari perkara yang sedang ditangani apabila menemui kondisi benturan kepentingan (conflict of interest). 

Kondisi benturan kepentingan itu setidaknya ada dua: Pertama, mengenai objek perkara, yakni apabila pokok persoalan yang ditangani ada menyangkut kepentingan pribadi si hakim. 

Kedua, menyangkut subjek yang terlibat dalam perkara yang ia tangani, baik itu hakim ketua, hakim anggota, jaksa, advokat, panitera, dan termasuk pihak yang diadili di dalam perkara itu terjalin hubungan sedarah atau hubungan semenda dengan si Hakim. 

Adapun yang termasuk hubungan semenda dalam garis ke samping satu derajat adalah Adik atau Kakak Ipar dari si Hakim. Di sinilah letak persoalannya: sejak pernikahan hari ini dilangsungkan Ketua MK wajib mengundurkan diri setiap kali menangani perkara perkara yang memposisikan Iparnya (Presiden) sebagai pihak yang diadili di persidangan Mahkamah Konstitusi.

Apa saja Perkara yang memposisikan presiden sebagai pihak yang diadili di MK? 

Setidaknya ada 4 yang potensial.  Pertama, judicial review, karena Undang-Undang dan Perppu adalah produk buatan presiden. Dalam setiap perkara Judicial Review presiden selalu dipanggil dan didudukkan sebagai Pihak (Termohon) dalam persidangan. 

Kedua, Perkara sengketa hasil pemilu presiden-wakil presiden (sengketa pilpres) sepanjang presiden selaku incumbent maju sebagai Pemohon atau Pihak Terkait. ketiga, dalam sengketa kewenangan lembaga negara apabila presiden terlibat sengketa kewenangan. 

Keempat, dalam perkara Impeachment atas presiden dan/atau wakil presiden yang diajukan DPR ke MK karena presiden betul-betul didudukkan sebagai pihak yang sedang diadili di Mahkamah Konstitusi. Keempat perkara ini semuanya melibatkan presiden sebagai Pihak dalam perkara.

Bisa saja orang mengatakan sengketa pilpres, sengketa kewenangan, dan Impeachment kecil kemungkinannya dihadapi MK dalam waktu dekat. Namun perkara judicial review untuk menguji Undang-Undang dan Perppu di Mahkamah Konstitusi masih terus berjalan dan bertambah hingga saat ini. 

Semenjak hari bersejarah ini terjadi (pernikahan), Ketua MK Anwar Usman wajib untuk mengundurkan diri dari semua perkara judicial review yang sedang berjalan maupun yang akan ditangani di masa yang akan datang, setidak-tidaknya hingga masa jabatannya selaku ketua MK selesai atau hingga masa jabatan presiden Jokowi  2 periode habis. 

Karena itu ketika membaca berita hari ini cukup lama saya tertegun. Sejak pernikahan ini Mahkamah Konstitusi sudah tak lagi sama. Putusan-putusan MK berkenaan dengan kepentingan presiden tidak lagi dapat ditangani oleh Ketua MK yang sekarang, sebab antara keduanya sudah terjalin hubungan semenda. 

Pembelaan Ketua MK untuk tidak mundur dari jabatannya beberapa waktu lalu mungkin masih beralasan menurut hukum. Tapi terhadap perkara-perkara menyangkut kepentingan presiden yang saya sebutkan tadi, terutama Judicial Review, Ketua MK tidak punya pilihan selain: mengundurkan diri dari persidangan. 

 

Penulis: Gugum Ridho Putra,S.H.,MH

Advokat, Spesialisasi Hukum Administrasi dan Tata Negara

More Kolom


KOLOM TERKAIT