kolom
22 Desember 2022 05:53 WIB
Penulis:Andi Reza Rohadian
Editor:Ananda Astri Dianka
Monumen Obelisk di pusat kota Buenos Aires, hari Minggu (18/12) petang lalu dipadati masyarakat berkostum kesebelasan Argentina, kaus putih setrip biru muda. Mereka merayakan kemenangan Tim Tango yang baru saja menaklukkan juara bertahan Prancis melalui adu penalti setelah berbagi angka 3-3 sampai babak perpanjangan waktu.
Landmark dari kota berpenduduk 17 juta jiwa itu mendadak berubah menjadi lautan manusia. Di sekitar 15 blok sebelah utara Obelisk, beberapa pendukung Lionel Messi dkk bersujud di depan bar Locos por el futbol (Gila Bola).
“Sungguh luar biasa, saya tak bisa berkata-kata. Kemenangan ini sangat berarti bagi kami,” tutur Henrique Ferenz, yang menghadiri pesta kemenangan Argentina bersama anaknya, Ignacio.
“Ini mengingatkan saya pada tahun 1986,” ujarnya mengenang kali terakhir Argentina mengangkat Piala Dunia di masa kejayaan Diego Maradona.
“Kemenangan ini sungguh melegakan di tengah kondisi [ekonomi] yang sulit,” lanjutnya, seperti dikutip Politico.
Ucapan Henrique mewakili perasaan masyarakat yang menderita diterpa krisis ekonomi. Tak heran, begitu piala dunia bergulir, lantas tim Albiceleste melaju ke perempat final, semi final hingga final, harapan masyarakat langsung melambung.
Betul, sekitar satu abad lampau Argentina tercatat sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Tapi sejak mengalami berbagai macam krisis ekonomi dalam beberapa dekade terakhir, kondisi saat ini terasa lebih pahit. Inflasi yang nyaris mencapai 100 persen tahun ini menggerogoti tabungan masyarakat dan menghapus harapan banyak orang, terutama di kalangan kelas menengah. Saat ini sekitar 40 persen atau sekitar 18 juta rakyat Argentina hidup di bawah garis kemiskinan.
Pemerintahan sayap kiri pimpinan Presiden Alberto Fernandez telah berupaya menstabilisasi mata uang dan perekonomian dengan membatasi dan menaikkan pajak komoditas utama –hasil bumi dan daging. Toh langkah itu dituding semakin memperburuk keadaan. Di jalan-jalan Buenos Aires menjadi pemandangan umum, orang-orang mengorek keranjang sampah demi mencari sisa-sisa makanan.
Kemiskinan ekstrim, yakni orang yang tak mampu memenuhi kebutuhan makanan pokok pada semester I tahun ini meningkat 8,8 persen, mencakup 5,3 juta jiwa. Angka itu turun 1,9 persen dibanding tahun lalu, namun naik 0,6 persen bila mengacu pada semester sebelumnya.
Tak syak, begitu kesebelasan Argentina memastikan gelar juara dunia, semua rasa frustrasi dan kegagalan yang telah lama mengekang negeri mendadak hilang. Setidaknya untuk sementara waktu.
“Kami juara dunia! Seluruh dunia melihat kami sekarang! Saya tidak dapat menggambarkan bagaimana perasaan saya,” seru Angelica Lopez, sambil menari di tengah lautan manusia yang mengikuti tabuhan drum.
Meski kemenangan itu tidak berdampak langsung pada kondisi perekonomian, harapan dan kebanggaan telah tiba. Seiring dengan itu perspektif politik dan ekonomi baru bagi Argentina akan tumbuh.
Sesungguhnya, di tengah depresi ekonomi bertahun-tahun, kekacauan politik, dan korupsi yang merajalela, Amerika Selatan memiliki banyak kekayaan sumber alam, seperti sumber minyak fosil di kawasan sapi mati di Patagonia yang ditengarai sebagai cadangan minyak bumi shale kedua terbesar di kolong langit. Kawasan itu juga kaya akan lithium –komponen utama untuk batere kendaraan listrik.
Bulan Oktober tahun depan Argentina akan menggelar pemilu. Pemerintahan sayap kiri akan ditantang oleh kandidat yang lebih berpihak terhadap pasar, yakni kelompok tengah-kanan dan partai liberal baru.
Pemimpin baru diharapkan sudi meratifikasi transaksi perdagangan yang lama tertunda di antara Uni Eropa dan Blok Mercosur –terdiri dari Argentina, Brazil, Uruguay dan Paraguay. Rasa Optimistis kian membuncah setelah perang Rusia-Ukraina dan ketegangan dengan China memaksa politisi Eropa yang selama ini menolak kerja sama untuk meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan Amerika Latin.
Banyak warga Buenos Aires mengingatkan saat Argentina memenangi Piala Dunia 1986, itu terjadi hanya tiga tahun setelah kejatuhan diktator militer yang berujung melahirkan demokrasi. Warga kini melambungkan harapan kemenangan Messi dkk akan menghasilkan kejayaan serupa bagi negeri. “Semoga, kemenangan hari ini, dengan sedikit keberuntungan akan mendesak bagi politik dan perbaikan ekonomi yang sangat dibutuhkan,” kata Guillermo Alberto, seorang fans yang mengikuti pesta di Jalan Recoleta, Buenos Aires.
Untuk tahun 2022 ekonomi Argentina diperkirakan tumbuh 4,4 persen, tapi menurut taksiran OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) tahun depan melorot menjadi 0,5 persen. Baru pada tahun 2024 pertumbuhan ekonomi membaik menjadi 1,8 persen.
OECD mengingatkan, dalam konteks inflasi tinggi, pembatasan impor, rendahnya cadangan internasional dan lemahnya ruang fiskal, menyebabkan risiko tetap tinggi dan konsumsi masyarakat akan melemah di tahun 2023.