Karyawan melintas di depan layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Senin, 21 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Di tahun kedua Jimmy Carter berkuasa, Paul Volcker didaulat jadi Gubernur The Fed. Volcker telah mengingatkan Carter bahwa dirinya adalah seorang "hawkist". Artinya, kalau ia menerima tawaran tersebut, maka tak ada jalan lain untuk menjinakan inflasi yang menggila sejak 1973an selain menaikan suku bunga.
Carter bergeming. Ia bersedia menerima segala risikonyo asal inflasi dijinakan. Walhasil, Volcker tancap gas. Suku bunga terbang tinggi mendekati 20%, mengikuti hukum John Law alias setara atau mendekati angka inflasi Amerika. Warisan dari Volcker, inflasi jinak selama dua periode, sebelum dihantam krisis finansial 2008.
Tapi ada biayanya. Resesi berlangsung selama dua tahun. Output rumah tangga dan sektor manufaktor menyusut lebih dari 10%. Lalu tahun 1986 sampai 1995, terjadi krisis Saving and Loan, atau dikenal dengan S&L Crisis yang memakan uang pajak sekitar US$132 miliar. Chrysler mengalami krisis likuiditas dan harus di-bail out. Mexico mengalami krisis utang karena tak mampu membayar bunga. Dan Jimmy Carter gagal terpilih kembali untuk kedua kalinya pada pemilihan tahun 1981.
Di era Bill Clinton, karena inflasi sudah cukup jinak, institusi perbankan warisan New Deal yang paling signifikan disingkirkan, yakni Glass-Steagall Act yang disahkan di tahun pertama FDR berkuasa, 1933. Risikonya, tidak ada lagi pemisahan tegas antara investment bank dan comercial bank. Artinya, transaksi berisiko memakai dana nasabah semakin terbuka lebar bagi bank, diiringi dengan maraknya produk derivative (salah satunya Mortgage Backed Securities/MBS), yang kala itu disebut oleh Alan Greenspan sebagai sebuah inovasi dalam meraih dana di pasar uang.
Walhasil, menjelang akhir tahun 1990an, Long Term Capital Management (LTCM) kolaps. Kapitalisme dibuat kalang kabut, yang lagi-lagi menyedot dana negara untuk menyelematkan dana nasabah. Setahunan kemudian, krisis dotcom datang. Sistem keuangan Amerika kembali gempar di awal milenium baru. Bank global di Indonesa akhirnya juga ikut tutup. Lagi-lagi negara turun tangan.
Situasi yang tak pasti akibat krisis memaksa The Fed menahan suku bunga rendah lebih lama, agar likuiditas tak tercekik dan ekonomi riil mudah mengakses dana. Hal ini bertepatan dengan Glutt Fund dari Jepang, China, Timur Tengah, dan German, negara-negara surplus ekspor yang ingin menjaga mata uangnya rendah. Negara-negara ini membuang dolarnya kembali ke Amerika, agar ekspornya tetap kompetitif dan mata uangnya tetap "undervalued".
Suku bunga rendah dan limpahan liquiditas membuat pengelola asset kebingungan mencari instrumen investasi yang bisa mendatangkan yield tinggi. Jalan tersisa hanya produk derivative, yang menawarkan imbal hasil menarik, tapi berisiko. Adigium yang menyatakan suku bunga rendah memicu spekulasi ada benarnya. Kong kalikong dengan lembaga rating, yang memoles rating credit produk derivative dengan kualifilasi bagus, membuat dana-dana "nyemplung" ke produk derivative, utamanya MBS.
The Fed menafikan pertumbuhan ekonomi yang terus menurun, sementara liquiditas dibiarkan mengalir ke produk derivative yang bisnis dasarnya ada pada developer perumahan kelas menengah bawah (supreme mortgage). Masyarakat pun merasakan hal yang sama. Tertipu adigium bahwa properti dan rumah tak pernah mengalami penurunan harga, satu mortgage berbuah mortgage lainya. Rumah dijaminkan untuk dapat liquiditas, karena ekonomi riil makin ketat.
Pertumbuhan rendah berarti performa ekonomi riil buruk. Pendapatan penduduk tertekan dan kesulitan membayar mortgage. Bisnis riilnya macet, otomatis nilai produk derivativenya ambruk. Sinyal sudah muncul di tahun 2006. Imbasnya baru terjadi di tahun 2008 pertengahan.
Bear Stern mengalami gagal bayar saat nasabah derivative menarik dana, karena dana dibelanjakan kembali ke berbagai macam mortgage di institusi keuangan lainya. Masalahnya, penerbit mortgage (originator) mengalami gagal bisnis, karena jutaan mortgage dari pemilik kredit rumah mengalami gagal bayar tagihan. Dengan kata lain, nilai asset derivative-nya ambruk.
Pada awalnya, beban Bear Stern masih bisa diserap oleh sistem keuangan Amerika. GP Morgan berbagi tanggung jawab dengan The Fed mengambilalih saham Bear Stern. Tapi beberapa bulan kemudian, Fannie Mae dan Freddy Mac mengalami hal yang sama. Dananya tersangkut di produk derivative MBS (Mortgage Backed Securities). Kedua perusahaan ini adalah GSE, Government Sponsored Enterprises, karena mengemban tugas publik, yakni urusan perumahan rakyat. Pemegang produk derivative terbesar dari Fannie Mae and Freddy Mac adalah China dan Jepang. Mau tak mau, pemerintah Amerika harus "jump" dan "step in". Fannie dan Freddy harus masuk "conservatorship".
Tak lama, Lehman Brother mengalami hal yang sama, lalu Merrill Lych, AIG, Citibank, plus Washington Mutual and perusahaan otomotif kebanggaan Amerika, The Ford. Ini bisa terjadi karena di antara mereka saling meminjam dan memperjualbelikan aset derivative, utamanya mortgage back securities. Takut sistem keuangan kolaps, The Fed "jump" lagi. Asset-asset sampah tersebut diserap sebanyak-banyaknya. Semacam nasionalisasi dalam bentuk halus, berujung dengan Quantitative Easing sekian triliun dollar, yang membuat asset the Fed berlipat empat lebih
Di era pemerintahan Donald Trump, regulasi Dodd Frank Act yang dibuat di era Obama dan menjadi pengganti Glass Seagall Act direvisi. Bank-bank dengan asset menengah ke bawah, US$250 miliar ke bawah, diberi kelonggaran dalam pengelolaan asset. Walhasil, di tahun 2018, harga Repo juga bergejolak liar. Spread jual dan beli melebar di luar kebiasaan. Artinya, pemain asset derivative semakin bertambah karena pelunggaran aturan. Jerome atau Jay Powell yang baru diangkat Trump juga langsung "jump" memberikan suntikan dana.
Dan saat The Fed bersama Jay Powell yang sejatinya Hawkist pelan-pelan menaikan suku bunga setahunan lalu. Kita seperti dibawa kembali ke tahun 1980an. SVB kolaps dalam hitungan jam. Dengan aset sebesar US$211 miliar, penarikan dana mendadak sebanyak US$42 miliar membuat SVB kehabisan dana cash, karena reserved fund (cash) perbankan rata-rata hanya 20 persen dari asset.
Sementara, US$42 miliar sudah lebih dari 20% asset SVB. Wajar akhirnya SVB angkat bendera putih alias kolaps. Ditambah lagi asset tersebut sudah menguap lebih dari dua miliar dollar dalam bentuk obligasi, yang nilainya tertekan sejak the Fed menaikan suku bunga.
SVB, Signature, dan Silvergate adalah korban awal, boleh jadi akhir, atau hanya awal, yang diikuti oleh lainya. Bisa berawal dan berakhir di Amerika, tapi bisa pula berakhir di Eropa seperti Swiss dan Jerman, atau justru berakhir di Asia seperti tahun 1997-1998, atau di Amerika latin seperti tahun 1980an dan 2000an. Tak ada yang benar-benar mengetahuinya, sebelum ada yang berteriak kalau assetnya menguap atau tagihan bunganya bengkak karena suku bunga naik.
Kapitalisme tidak stabil, kata Karl Marx, karena mengandung kontradiksi di dalamnya. Tanpa dilawanpun, nanti kapitalisme akan ambruk sendiri digeruduk proletariat. Kontradiksi yang dimaksud oleh Marx adalah antara kalangan kapitalis dan proletar, bukan yang lain. John Stuart Mill, Maynard Keynes, dan Schumpeter sepakat dengan kata "tidak stabil" tersebut. Yang membedakannya dengan Marx adalah kesimpulannya.
Kapitalisme nyatanya tak ambruk seperti kata Marx karena para proletar di Inggris semakin sejahtera, berorganisasi, berpartai, dan elit-elitnya masuk ke parlemen. Pun Inggris bukanlah pusat revolusi sebagaimana prediksi Marx, tapi di Rusia 1917 yang justru kapitalismenya belum matang. Bahkan di China, justru belum layak disebut kapitalisme di tahun 1949 dan motornya bukanlah para buruh, tapi petani.
Keynes pun pada awalnya penganut aliran ekonomi pasar bebas. Great Depression 1929 merubah pandangannya atas logika pasar. Pasar tidak selalu cerdas dan sensitif, adakalanya gegabah dan tergelincir karena ada "animal spirit" yang menyelimuti perilaku para pelaku pasar, lalu menciptakan goncangan. Di saat tertentu, goncangan tersebut berpotensi meruntuhkan system. Saat itulah negara masuk untuk menggelorakan kembali "aggregate demand", kata Keynes.
Aliran Austrian economics meyakini memang ada masanya pasar berpasang surut. Mereka menyebutnya sebagai bagian dari business cycle. Tapi mereka menolak adanya intervensi, karena mereka yakin krisis adalah masa pemurnian pasar dan pasar pada dasarnya bersifat self regulating.
Kedua kubu berjibaku hebat di tahun 1930-1940an yang diwakili secara apik oleh seteru John Maynard Keynes dan Friederik Hayek. Padahal keduanya berperang dengan senjata yang berbeda. Walhasil, lahirlah ekonomi makro dan ekonomi mikro. Keynes berbicara "aggregate demand", Hayek berbicara siklus bisnis. Tak sama sekali "nyambung". Tapi karena keributan dua orang ini, kita akhirnya mempunyai dua buku pengantar ekonomi, yakni ekonomi makro dan mikro.
Di sisi lain, kata Joseph Schumpeter, kreatifitas dan inovasi membuat kapitalisme selalu dalam ketegangan, ketegangan antara status quo dan pendatang baru, yang memenangkan para inovator-inovator baru yang akan mengambil tahta pemegang status quo, seperti Blackbarry yang menyikat Nokia, atau Iphone dan Android yang mengalmarhumkan Blackberry. Karena itu, kapitalisme akan tetap stabil dalam ketidakstabilannya. Ada mekanisme "creative destruction" yang menyambung ketidakstabilan tersebut, kata Schumpeter.
Namun Schumpeter pun tak selalu benar. Memang proses creative destruction selalu terjadi, tapi bukan satu-satunya penyelamat kapitalisme dari ketidakstabilan. Mesin uappun tak akan lahir dan berkembang kalau institusi ekonomi politik Inggris tak inklusif dan supportif. Kalau James Watt tak dapat hak paten, ia tak akan mendapat investor untuk memproduksinya secara komersial. Artinya, revolusi industri akan gagal total terjadi
Sejarah membuktikan tak ada satupun yang benar-benar murni pada akhirnya. Yang murni hanya Taliban dan Kim Jong Un. Tapi terbukti Afganistan dan Korea Utara pada akhirnya paling terbelakang sejagad raya, dari dulu sampai hari ini. Krisis demi krisis membuat negara kapitalis bertindak semakin sosialis, mengintervensi pasar menyelamatkan para kapitalis dan kapitalisme. Itulah yang terjadi di Amerika.
Pun kemandegan, kelambanan, dan ancaman liberalisasi politik memaksa negara komunis sosialis harus memanfaatkan kapitalisme untuk tetap bertahan sebagai negara sosialis komunis, kalau tak mau hancur lebur seperti Soviet atau tergonajgn seperti peristiwa Tianamen Square 1989. Itulah yang terjadi di China. Artinya, kapitalisme memang tak stabil, sering gempa. Tapi komunisme juga jauh lebih tak stabil. Sekali gempa, bisa langsung Tsunami.
Kedua negara kini sama-sama negara adidaya. Keduanya sama-sama menyadari kelemahan sistemnya masing-masing. Karena itu, mereka saling meminjam resep rahasia masing-masing untuk menyelamatkan sistemnya. Walhasil, dalam kajian ekonomi politik global, komunisme versus kapitalisme hilang di peredaran, berganti dengan state capitalism versus democratic capitalism. Sama-sama kapitalis, satu plat merah satu lagi plat hitam. Dalam kajian politik internasional, demokrasi versus autokrasi mulai menjadi istilah baru
Namun rakyat di kedua negara tak selamanya menjadi pemenang. Di Amerika, kata Bernie Sanders dalam buku barunya tahun ini, 60 persen rakyat hidup dari satu paychek ke paycheck lainya. Di China, rakyatnya malas meningkatkan konsumsi. Mereka tetap menyimpan dananya di bank atau paling banter membeli properti karena negara tak punya sistem pengelolaan dana pensiun dan jaminan kesehatan. Takutnya sakit atau mendadak dipecat, maka dana harus "stand by". Aneh toh negara komunis tak punya jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan sosial? Tapi begitulah faktanya. Risikonya, merubah sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor dan FDI ke konsumsi susahnya minta ampun.
Walhasil, represi finansial terjadi. Rakyat tak meningkatkan belanja diterima sebagai fakta. Karena itu, pemerintah akan memaksa bank untuk berbelanja. Dana pihak ketiga dipaksa menjadi investasi berbunga rendah. Petani diusir, penduduk digeruduk, dan tanahnya diberikan sebagai konsesi kepada pengusaha yang dapat bunga rendah. Pemda mendapat pendapatan, pertumbuhan tetap tinggi, dan PKC senang.
Tapi gedung-gedung kosong bertambah, apartemen-apartemen tak laku. Jadilah Ghost city di mana-mana. Kalau memang komunis sebagaimana sesumbarnya, tentu jangan dihancurkan bangunan-bangunan tersebut. Diberikan saja kepada rakyat. Tapi itu semua dibangun oleh kapitalis semacam Avangarde cs, bukan oleh komunis. Maka tak terelakan krisis sektor konstruksi dan properti pun sedang melanda China.
Intinya, pasar tidak "maha tau", negara pun sama. Apalagi di negara kita, yang "maha tau" hanya Tuhan. Apakah Tuhan mengetahui kapan krisis akan terjadi? Lagi-lagi hanya Tuhan yang mengetahui. Tahun 1996, pertumbuhan ekonomi kita 7,8 persen. Sangat ciamik. Tahun 1997 ekonomi lonsor. Suharto tak mengetahui akan terjadi krisis, hanya Tuhan yang mengetahui. Tahun 2021 SVB mengantongi keuntungan yang sangat besar karena perusahaan-perusahaan teknologi meraub cuan yang besar di saat mobilitas penduduk dibatasi. Tahun 2023 justru kolaps.
Artinya, kita harus siap menerima kenyataan bahwa sesiap apapun kita, peluang krisis tetap ada. Banyak yang tidak diketahui pelaku pasar dan negara. Nah, sebanyak yang tidak diketahui itulah peluang krisis. Goncangan bisa berasal dari utang BUMN, dari utang negara, kenaikan suku bunga, atau dari bertumbangannya fintek pinjol seperti krisis P to P lending di China tahun 2018. Dari catatan OJK, sudah 20%lebih kredit macet di sektor fintek pinjol. Angkanya sudah di atas Rp5 triliun. Saya sangat yakin, mayoritas dana pinjol berasal dari perbankan. Jika dana itu macet, banyak sedikit bank akan kelimpungan.
Salah satu sebab pencegatan IPO Ant Internasional oleh pemerintahan China dua tahun lalu adalah soal risiko perbankan di balik bisnis Ant Internasional. Ant menjual 80 persenan asset kreditnya kepada perbankan regional, 18% lainya berasal dari pasar uang, hanya dua persen reserved fund yang dimiliki Ant Internasional. Pemerintah China meminta Ant menaikan reserved fund menjadi 20%. Artinya, Ant harus menambah sekitar 18%. Karena jika Ant kolaps, 80% risikonya ditanggung oleh perbankan.
Atau goncangan bisa pula berasal dari penipisan devisa negara karena permintaan internasional turun 25%. Permenaker 5 tahun 2023 memperbolehkan perusahaan berorientasi ekspor untuk memangkas upah pekerja sebesar 25%, karena permintaan dunia turun sebesar itu.
Artinya apa? Artinya devisa ekpor juga akan turun sebanyak itu, karena permintaan ekspor turun 25%. Risikonya daya tahan ekonomi internasional kita menurun karena kemampuan membiayai ekspor dan tagihan plus bunga utang menipis. Rendahnya devisa Indonesia di tahun 1997 adalah sebab utama mengapa bank dan perusahaan gagal bayar, sehingga IMF harus diundang ke sini.
Pendeknya, di sini saya ingin menginklusifkan pandangan kita bahwa perkara ekonomi bukan hanya perkara pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, komoditas pokok, ekspor, investasi, kebijakan fiskal, kebijakan industri dan hilirisasi, tapi juga perkara stagnasi, resesi, dan krisis.
Menafikan kemungkinan krisis adalah sebuah upaya menaifkan cara pandang kita tentang ekonomi. Krisis sudah bersama kita sejak dahulu kala, bahkan bunga tulip pun (tulip bubble) bisa menguncang ekonomi Belanda. Jadi mari kita terus melakukan instrospeksi diri dan melakukan "service" pada mesin ekonomi kita secara jujur, berkala, dan persisten, agar ekonomi kita bisa menyerap segala kemungkinan krisis dengan baik yang akan membuat kita menjadi lebih kuat dibanding hari kemaren. Semoga.