Trenasia

Inovasi, Teknologi, dan Krisis

Ronny P Sasmita in kolom 06 Juni 2025 03:35 WIB 1 min read
PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) resmi menyerahkan 22 unit bus listrik kepada PT Mayasari Bakti yang merupakan kelanjutan dari penggunaan 30 bus sejenis ber-merk BYD jenis K-9 lowdeck yang telah beroperasi sebelumnya. Pasokan bus listrik ini merupakan komitmen dalam mendukung upaya pemerintah melakukan transisi menuju penggunaan energi hijau, terutama di bidang elektrifikasi transportasi di DKI Jakarta.Selasa 14 Maret 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

"Boom vs Doom. Debating the Future of US Economy", begitu tema acaranya. Diadakan oleh Chicago Council of Global Affair, 31 Oktober 2016, di Chicago's Northwestern University. Dua pembicara yang akan berdebat adalah dua orang ekonom besar, dengan spesialis yang sama, yakni sejarah ekonomi. Yang pertama adalah Robert J Gordon. Buku mutakhirnya, "The rise and fall of American Growth", terbit beberapa bulan sebelum acara debat berlangsung. 

Gordon menggunakan pendekatan utama bernama Total Factor Productivity (TPP) di dalam bukunya, yang mengukur pengaruh perkembangan SDM dan teknologi kepada pertumbuhan. Temuanya, revolusi industri yang diawali dengan penemuan mesin uap, lalu berlanjut dengan temuan listrik dan combustion engine secara revolutioner telah mem-boosting pertumbuhan ekonomi. Inovasi di era ini benar-benar revolutioner, katanya. 

Tapi inovasi setelah itu, pengaruhnya terhadap pertumbuhan tidak signifikan. Di dalam acara tersebut, Gordon mengatakan, penggunaan dekstop dan komputer di perkantoran masih sama dengan cara kantor menggunakannya lima belas tahun lalu. Pembayaran dengan cara scan barcode di super market masih tak merubah prinsip transaksi pada umumnya. Teknologi 3D printing tidak merubah arsitektur sektor manufaktur. Dan lain-lain. Dengan kata lain, tidak transformational. Karena itu, Gordon memandang inovasi pasca penemuan electricity and combustion engine dengan sangat pesimis. 

Pembicara kedua adalah Joel Mokyr, yang banyak menulis buku tentang peran teknologi pada perekonomian, seperti revolusi  industri dan pengaruh perkembangan teknologi pada ekonomi di Inggris dan dunia. Buku barunya terbit dua tahun setelah acara, 2018, berjudul "The Culture of Growth". 

Joel kurang sependapat dengan Gordon. Setidaknya, kata Joel, teknologi hari ini telah membuat teknologi kita lima belas tahun lalu terlihat sangat ketinggalan zaman.  Perkembangan di bidang genetic enginering, medical science, 3D printing, dan laser technology, akan memiliki prospek bagus untuk pertumbuhan ekonomi ke depan, kata Joel.

Perdebatan semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru. Tahun 1938, Alvin Hansen, profesor ekonomi Harvard yang mengaku sebagai murid langsung John Maynard Keynes, memperkenalkan istilah "secular stagnation" ke ruang publik.  Pertumbuhan ekonomi Amerika tak akan bergerak progresif lagi, katanya, karena semua inggredient dan jurus pertumbuhan telah dikeluarkan, yakni technological progress dan population growth

Jadi pandangan Gordon sangat bisa dipahami, setidaknya untuk konteks Amerika, karena inovasi teknologi terkini setelah electricity dan combustion engine tak lahir dari ruang hampa, tapi sebagai pengembangan dari teknologi sebelumnya. Itu yang membedakannya dengan mesin uap, tenaga listrik, dan combustion engine

Apa risikonya? Risikonya, teknologi baru mendisrupsi teknologi lama, yang lama-lama justru saling membunuh. Walhasil, teknologi baru tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru tersendiri, tapi menjadi sumber pertumbuhan yang menggantikan peran dari teknologi lama. Karena itulah sifatnya tidak transformasional. 

Misalnya taksi dan ojek online mendisrupsi taksi konvensional dan ojek pangkalan. E-commerce mendisrupsi mall dan supermarket. Tiket online membuat tour and travel kalang kabut. AI untuk mempercepat proses kredit menggantikan analist kredit di kantor. Fintech dan e-money menggantikan kasir dan uang kartal. 

Platform dokter online menggantikan klinik 24 jam. Sosmed menduplikasi dunia nyata ke dunia maya. Cripto currency niat awalnya mendisrupsi uang dari bank sentral, tapi kini jadi barang maya  yang tak jelas kaiitannya sama ekonomi riil, kelas online menggantikan kelas konvesional, dst. 

Tapi mengatakan teknologi terkini tidak menyumbang pada pertumbuhan juga agak kurang tepat. Setidaknya, teknologi membuat manusia bisa menghemat waktu alias lebih efisien. Dengan tidak pergi ke mall, orang bisa mengerjakan banyak hal yang produktif. Dengan AI, kredit lebih cepat berkembang, walau penuh risiko. 

Dengan uang digital, proses pembayaran lebih efisien dan cepat, volume transaksi lebih banyak. Dengan internet dan sosmed, pasar menjadi tidak terbatas alias semakin luas, siapa saja bisa jualan. Dan lain-lain!  Intinya, teknologi bisa membuat "boom"

Tapi, bukan tanpa risiko, karena teknologi juga bisa berakhir "doom". Semua inovasi teknologi yang bersifat disruptif, yang mempercepat proses, meningkatkan produktifitas, dan dengan biaya sekecil-kecilnya (efisien), akan mengistirahatkan banyak manusia ke dalam kubangan pengangguran.  

Di Amerika, hasil penelitian meyimpulkan bahwa pengangguran akibat kebijakan trade hanya 20 persen. Jadi pengangguran akibat investasi pindah ke China atau Meksiko hanya 20 persenan dari total penggangguran. 

Penyebab terbesar PHK dan pengangguran di Amerika ternyata adalah technological advance dan sebab lainya, 80%. Assembly line digantikan oleh tenaga robotic, warehouse amazon dikerjakan robotic AI, kasir bank berganti ATM dan mobile banking, penjaga jalan tol berganti mesin tap, tenaga kerja tekstil berganti mesin, pelenting rokok berganti mesin, analist kredit berganti AI, dst.

Memang, dunia yang saat ini memiliki 8 juta miliar manusia tak akan kelaparan sebagaimana diperingatkan oleh Thomas Malthus, karena dengan teknologi, produktifitas bertambah. Ditemukannya pupuk, teknologi pengolahan lahan, traktor, urban farming, bisa memberi makan miliaran orang, alias tidak seperti kutukan Malthusian (teori Thomas Malthus). 

Tapi masalahnya teknologi tersebut bukan milik publik. Teknologi bisa membuat produksi padi dan gandum berlipat, membuat obat lebih banyak dan canggih. Tapi padi dan gandum tidak gratis, tidak bisa dipanen suka-suka. Padi dan Gandum harus dibeli. Obat harus ditebus dan dibeli. 

Naik Gojek tidak gratis, belanja online harus bayar. Untuk membeli atau membayarnya, manusia harus kerja. Tapi, pekerjaan semakin berkurang akibat teknologi. Jadi, di satu sisi, aka nada tambahan pengangguran. Di sisi lain, ada peluang overproduction dan bubble, alias tak terbeli, lalu krisis Paradok bukan!

Dengan kata lain, teknologi membuat orang kaya semakin kaya, orang berkuasa semakin berkuasa, dan ketimpangan terjadi di banyak bidang. Teknologi bisa memperburuk power structure di dalam masyarakat dan di pentas dunia. Untuk membuatnya ramah terhadap semua orang, tugasnya jatuh ke tangan pemerintah. 

Ada beberapa solusi menurut kaum progresif dan liberal democrat, pertama, you tax them high, lalu gunakan uangnya  untuk membuat tenaga kerja baru bisa catch up dengan lapangan pekerjaan berteknologi tinggi, gunakan uangnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan untuk memudahkan hidup kelompok rentan, dst. 

Lalu kedua,  regulate them tightly, agar ada level playing field, agar mereka tidak menaikan harga semena-mena, agar tidak menghancurkan kompetitor UMKM, agar tidak memonopoli pasaran, dst. Dan ketiga, sebagaimana kebijakan Teddy Roosevelt (TR), break them up, agar tidak too big to fail yang akan membebani uang pajak jika krisis terjadi (TR memperkenalkan antitrust act, memecah perusahaan standard oil menjadi beberapa perusahaan, karena terlalu gigantis). 

Pemerintah bisa memperlambat gerakan teknologi, atau mengatur iramanya, agar disrupsinya moderat alias tidak mematikannya. Mematikan berarti menghilangkan sumber "boom,"  tapi membiarkannya liar berarti mempercepat sumber "doom". Teknologi memang menciptakan dilema, diskrepansi, disparitas, dan ketidakadilan. Tapi teknologi menyimpan potensi yang menumbuhkan dan menyelamatkan. Dengan teknologi, hantu Thomas Maltus bisa dijinakan. 

Dengan inovasi dan teknologi, krisis saving and loan untuk sektor perumahan di Amerika tahun 1980an sebagian besar teratasi, karena hadirnya  mortgage backed securities. Kepemilikan rumah (Homeownership) mengalami "boom." Tapi tanpa kontrol dan pengaturan irama yang pas, aset finasial dan mortgage backed securites berkembang kemana-mana tanpa arah, lalu melahirkan krisis finansial 2008 dan 2023. Homeowner pun berubah menjadi homeless

Dengan teknologi, Greensill kapital berkembang menjadi supply chain financing. Lex Greensill sesumbar bahwa itu adalah hal baru, memberikan pembiayaan berdasarkan invoice, kelayakan kreditnya (creditworthiness) dikerjakan oleh AI. Penjualan sudah terjadi, pembayaran belum. Kalau butuh dana, bisa menggunakan invoicenya sebagai colateral.  Lex Greensill mendadak dianggap innovator. Padahal pembiayaan berbasiskan invoice sudah dikenal sejak abad mediaval. Ia bertemen dekat dengan David Cameroon. Bahkan jadi adviser saat Cameroon jadi PM Inggris.

Lalu Sanjeev Gupta datang ke greensill capital,  setelah membeli Liberty Steel company di Inggris. Ia menjaminkan semua invoicenya, lalu beli banyak perusahaan besi baja di mana-mana. Invoicenya lagi-lagu dijadikan colateral ke Greensill, yang sebagian besar ternyata fake. Artinya, AI Greenhill mulai “kecele”. Walhasil, kredit Greensill tersangkut USD 5 miliar di tangan Gupta. Aset utang tersebut kemudian dijual oleh Greensill kepada Credit Suisse tahun 2021. Credit Suisee melakukan repackaging dan sekuritisasi, lalu membawa nasabahnya masuk USD 10 miliar. Credit Suisse pun membantu Greenhill IPO, lagi-lagi membawa nasabahnya untu membeli. Akhirnya, hari ini Credit Suisse “tepar”.

Dengan teknologi fintek, kredit micro melesat kemana-mana di China tahun 2015. Tapi teknologi AI milik para pinjol mulai “kecele” yang  membuat krisis P to P Lending di China "doom" di tahun 2018, merugikan ratusan  ribu investor.  Trauma pada P to P Lending Crisis 2018, China menghentikan IPO Ant International tahun 2021 lalu. Memang PKC ingin menunjukan taringnya. Tapi alasannya lebih dari itu.  Ant International terlalu picik. Sekitar 80 persen asset hasil kredit mikro dijual ke bank-bank lokal di mana Ant Internasional beroperasi, agar dapat dana lagi untuk dipinjamkan, sekitar 18 persen lagi dijual untuk  menghimpun dana di pasar uang, hanya 2 persen asset milik Ant Internasional. 

Artinya, kalau ada apa-apa, yang terkena imbas utama adalah pemegang aset yang 80 persen (bank-bank) dan 18 persen (investor pasar uang), China bisa kacau balau, Alibaba hanya rugi dua persen. Distribusi risiko ini berbahaya. Karena itu, otoritas China minta Alipay menaikan  reserved asset menjadi 20 persen, baru setelah itu melakukan IPO (note: niat awal produk derivatif adalah distribusi risiko, agar tidak ditanggung satu pihak)

Di sisi lain, Ant Internasional memang revolusioner. Kredit mikronya tumbuh eksponensial berkat AI. Konsep 212 nya luar biasa. Isi formulir 2 menit, verifikasi via AI 1 menit, dan acc 2 detik. Kreditnya langsung parkir di rekening, seperti perusahaan pinjol lainnya. Sementara di bank konvensional, antri di bank bisa satu jam, acc-nya bisa 4 hari.  Dan tak lupa, dengan teknologi (surveilence) dan biometric technology, PKC mengontrol hampir semua aspek kehidupan rakyat China di Xinjiang dan Tibet. Sampai kapan China bisa menjawab masalah di  Xinjiang dan Tibet dengan car aitu, hanya Tuhan yang mengetahuinya. 

Pendek kata, kita membutuhkan inovasi dan teknologi untuk menyelesaikan berbagai masalah, tapi tidak untuk mentukan cara berfikir kita, tidak untuk mematikan aspek kemanusiaan kita, dan tidak untuk menjerumuskan kita ke dalam krisis demi krisis. Semoga. 

Topics:

More Kolom


KOLOM TERKAIT